10 Puisi Tema "Ayah" Karya Sastrawan Indonesia
Tanpa ayah kita tidak akan lahir di dunia, ayah merupakan peran yang sangat penting di hidup kita setelah Ibu. Mengungkapkan kasih sayang terhadap ayah dapat ditunjukan melalui puisi. Berikut adalah beberapa puisi tema ayah karya sastrwawan Indonesia.
1. Tidak, Bapak, aku tak akan kembali ke kampung. Aku mau pergi yang Jauh. - Pramoedya Ananta Toer
Aku mau pergi yang jauh…
Sebenarnya, aku ingin kembali.
Pulang ke teduh matamu. Berenang di kolam yang kau beri nama rindu.
Aku, ingin kembali
Pulang menghitung buah mangga yang ranum di halaman. Memetik tomat di belakang rumah nenek.
Tapi jalanan yang jauh, cita-cita yang panjang tak mengizinkanku. Mereka selalu mengetuk daun pintu saat aku tertidur. Menggaruk-garuk bantal saat aku bermimpi.
Aku ingin kembali ke rumah, Ayah.
Tapi nasib memanggilku.
Seekor kuda sembrani datang, menculikku dari alam mimpi. Membawaku terbang melintasi waktu dan dimensi kata-kata.
Aku menyebut pulang, tapi ia selalu menolaknya. Aku menyebut rumah, tapi ia bilang tak pernah ada rumah. Aku sebut kampung halaman, ia bilang kampung halaman tak pernah ada
Maka aku menungganginya.
Maka aku menungganginya.
Menyusuri hutan-hutan jati. Melihat rumput-rumput yang terbakar di bawahnya. Menyaksikan sepur-sepur yang batuk membelah tanah Jawa
Arwah-arwah pekerja bergentayangan menuju ibu kota. Mencipta banjir dari genangan air mata
Arwah-arwah buruh menggiring hujan air mata, mata mereka menyeret banjir.
Kota yang tua telah lelah menggigil, sudah lupa bagaimana bermimpi dan bangun pagi. Hujan ingin bercerai dengan banjir. Tapi kota yang pikun membuatnya bagai cinta sejati dua anak manusia.
Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya. Orang-orang datang ke pasar malam, satu persatu, seperti katamu Berjudi dengan nasib, menunggu peruntungan menjadi kaya raya.
Tapi seperti rambu lalu lintas yang setia, sedih dan derita selalu berpelukan dengan setia.
Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya. Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga-abadi. Di depan sana ufuk yang itu juga-abadi. Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukan dan menggenggamnya dengan tangan-jarak dan ufuk abadi itu.
2. Perjamuan Petang - Joko Pinurbo
Dua puluh tahun yang lalu ia dilepas ayahnya di gerbang depan rumahnya.
“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Jangan pulang sebelum benar-benar jadi orang.”
Dua puluh tahun yang lalu ia tak punya celana yang cukup pantas untuk dipakai ke kota.
Terpaksa ia pakai celana ayahnya.
Memang agak kedodoran, tapi cukup keren juga.
“Selamat jalan. Hati-hati, jangan sampai celanaku hilang.”Senja makin menumpuk di atas meja.
Senja yang merah tua.
Ibunya sering menangis memikirkan nasibnya.
Ayahnya suka menggerutu, “Kembalikan dong celanaku!”
Haha, si bangsat akhirnya datang.Datang di akhir petang bersama buku-buku yang ditulisnya di perantauan.
Ibunya segera membimbingnya ke meja perjamuan.
“Kenalkan, ini jagoanku.” Ia tersipu-sipu.
Saudara-saudaranya mencoba menahan tangis melihat kepalanya berambutkan gerimis.
Ibunya segera membimbingnya ke meja perjamuan.
“Kenalkan, ini jagoanku.” Ia tersipu-sipu.
Saudara-saudaranya mencoba menahan tangis melihat kepalanya berambutkan gerimis.
“Hai, ubanmu subur berkat puisi?” Ia tertawa geli.
Di atas meja perjamuan jenazah ayahnya telentang tenang berselimutkan mambang.
Daun-daun kalender beterbangan.
“Ayah berpesan apa?” Ia terbata-bata.
“Ayahmu cuma sempat bilang, kalau mati ia ingin mengenakan celana kesayangannya: celana yang dulu kaupakai itu.”
Diciumnya jidat ayahnya sepenuh kenangan.
Tubuh yang tak butuh lagi celana adalah sakramen.
Celana yang tak kembali adalah testamen.
“Yah, maafkan aku. Celanamu terselip di tetumpukan kata-kataku.”
3. Akulah Si Telaga - Sapardi Djoko Darmono
Akulah si telaga:
berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja perahumu biar aku yang menjaganya
4. Sebuah Kamar - Chairil Anwar
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia.
Bulan yang menyinar ke dalam mau lebih banyak tahu.
"Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!"Ibuku tertidur dalam tersedu
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!
5. Titip Rindu Untuk Ayah - Riska Cania Dewi
Hening malam
Serpihan-serpihan harapan datang
Merindu kau kembali bersama
Setitik harapan ingin kau kembali datang
Berkumpul bersama kami semuaAir mata menyesakkan dada
Harapan tersapu badai kekecewaan
Apa daya mengharapkan mu datang
Kau tak akan kembali sebab kau telah bersama TuhanKu panggil merpati menyampaikan salam rindu dari anakmu untuk ayah tercinta.
6. Kekar Yang Pengalah - Anik Susanti
Ada sebuah hari di mana matahari libur
Kami buta dan gelap ditinggal sebentar
Saat kau: Bapak, memutuskan bekerja jauh di luar
Anakmu serupa kapas yang kesiurRumah ini tak menemukan suluh cahaya
Dan jiwa ibuku berwarna layu
Engkau yang kekar tapi pengalah, mana tega
Setidaknya, pulang segera sambangi kalbuSesekali berbisik, bahwa
warisan hanya kitab-kitab tanggung jawab
Bukan ruah harta seperti tetangga
Bapak kami benar dalam sekejapFigur kehidupan senantiasa mengalir
Darah itu bertabiat ilmu perilaku
Catatan sifatmu tempat menimba pikir
Seumpama air, hulu adalah dari bimbingan ayahku
7. Catatan Dinding Jiwa - Rintanalinie Grinata Primanique
Mencari sejati pada waktu tak terganti
Tidak temukan cela tentangmu
Seperti tidak temukan mawar hitam tanpa duri di sudut taman
Hanya remang bayang di jalan berdebuTertulis di lembar catatan
Engkau langit luas tak berbatas
Mengurai ribuan makna di ladang aksara
Engkau perkenalkan duniaMembawa kehidupan juga mengajari jalan hidup
Memberi tanggungjawab juga makna lapar
Mengajari dapatkan pengalaman yang berujung pada realita
Engkau bertahta di hati dan netraSenja tergagap daun menguning dekati musim gugur
Aku melihat cinta di tiap helai yang kautulis
Cahayamu tuntun langkah untuk senantiasa bersyukur
Kasihmu kurasa di saat engkau telah tiada
Di setiap lantunan doaku terselip namamu
8. Sajak Kehilangan - Mustafa Ismail
Apa yang lebih pantas kuminta darimu kini: air mata, atau sebuah jerit paling keras sepanjang abad borok di kakimu tak tersembuhkan dari jauh aku hanya bisa melihat sorot mata ketakutan "Jangan pulang sekarang anakku," demikian bunyi surat itu tak ada lagi bau bunga padi di sana: semuanya menjelma kegetiran tak ada tempat buatku, meski hanya melongok pagar halaman di setiap jengkal tanah telah ditabur duri dan belati "Tahanlah rindumu, anakku, rawatlah cintamu" Aku tak melihat matahari akan segera terbit kembali di sana sebab cinta telah terbunuh, kasih sudah tercabik kita hanya bisa menunggu waktu untuk sebuah kematian abadi meski sebenarnya hidup masih sangat panjang "Jangan pulang sekarang anakku, jangan." mungkin memang aku harus melupakan semuanya: masa kecil, tepi pantai, kekasih, serta kangen yang mengental Matahari tak mungkin terbit lagi di sana malam telah sempurna. "Ayah, tolong bawa ibu dan seluruh saudaraku ke sini." 9. Ayah - Ratih Anjelia Ningrum Di setiap tetes keringatmu
Di derai lelah nafasmu
Si penuhi kasih sayang yang luar biasa
Demi aku kau rela di sengat matahari
Hujan pun tak dapat membatasimu
untuk aku anakmu
Di setiap doamu kau haturkan segenap harapan
Ayah...
Kan kujaga setiap nasehatmu
Di setiap nafasku
Di relung hati akan kuhangatkan namamu
Akan kukobarkan semua impianmu
Hanya untuk menikmati senyumu
Di ufuk senjamu
Ayah.
Fajar telah menyapa pagi ku
Kau jadikan hari mu,hari untuk pengorbanan.
Pengorbanan mencari rezki,pengorbanan untuk mencari awal yg baru.
Kau ajarkan aku arti perjuangan,kau ajarkan aku arti kesuksesan.
Ayah mungkin tanpa mu aku tidak bisa seperti ini..
Mungkin tanpa mu aku tidak bisa berdiri ditengah tengah impian ku..
Impian untuk meraih keberhasilan
Impian untuk mencapai kemenangan...
Komentar
Posting Komentar